Kontroversi
LGBT, Musnahkah Manusia karena ini ???
Diskusi
Tanggal 2 April
2016
Sebelum kita masuk ke pembahasan kiranya kita
perlu ketahui pengertian masing-masing dari Lesbian, Gay, Biseksual,
Transgender (LGBT)
- Lesbian adalah istilah bagi
perempuan yang mengarahkan orientasi seksualnya kepada sesama perempuan.
istilah ini juga merujuk kepeda perempuan yang mencintai perempuan baik
secara fisik, seksual, emosional, atau secara spiritual. istilah ini dapat
digunakan sebagai kata benda jika merujuk pada perempuan yang menyukai
sesama jenis, atau sebagai kata sifat apabila bermakna ciri objek atau
aktivitas yang terkait dengan hubungan sesama jenis antar perempuan.
- Gay adalah sebuah istilah
yang umumnya digunakan untuk merujuk orang homoseksual atau sifat-sifat
homoseksual. Istilah ini awalnya digunakanuntuk mengungkapkan perasaan
"bebas/ tidak terikat", "bahagia" atau "cerah
danmenyolok".
- Biseksual adalah Sebuah Orientasi Sexsual Seorang
Pria/Wanita yang menyukai dua jenis kelamin baik Pria/Wanita
Biseksual
merupakan ketertarikan romantic, ketertarikan seksual, atau kebiasaan sesual
kepada pria maupun wanita. Istilah ini umumnya digunakan dalam konteks
ketertarikan manusia untuk menunjukkan perasaan romantic atau seksual kepada
pria maupun wanita sekaligus. Istilah ini juga didefinisikan sebagai meliputi
ketertarikan romantic atau seksual pada semua jenis identitas gender atau pada
seseorang tanpa mempedulikan jenis kelamin atau gender biologis orang tersebut,
yang terkadang disebut panseksual.
Biseksual
adalah salah satu dari tiga klasifikasi utama orientasi seksual, bersama dengan
heteroseksualitas dan homoseksualitas, yang masing-masing merupakan bagian dari
rangkaian kesatuan heteroseksual-homoseksual. Suatu identitas biseksual tidak
harus memiliki ketertarikan seksual yang sama besar pada kedua jenis kelamin
tetapi memiliki tingkat ketertarikan yang berbeda juga mengidentifikasikan diri
mereka sebagai biseksual. Biseksual umumnya dikontraskan dengan homoseksual
dengan homoseksualitas, dan aseksualitas.
Biseksual
teramati terdapat dalam bebagai golongan masyarakat manusia dan juga pada
kelompok hewan di sepanjang sejarah tertulis, istilah biseksual, sebagaimana
heteroseksualitas dan homoseksualitas, diciptakan pada abad ke -19
- Transgender adalah Sebuah Orientasi seksual
seorang Pria/Wanita dengan mengidentifikasi dirinya menyerupai Pria/Wanita
(Misal:Waria). Transgender bukan merupakan orientasi seksual. Seseorang
yang transgender dapat mengidentifikasi dirinya sebagai seorang heteroseksual,
homoseksual, biseksual, maupun aseksual.
Tanggal 26 juni 2015, menjadi
hari bersejarah buat kaum LGBT pasalnya pada hari itu, putusan Mahkamah Agung
Amerika Serikat (AS) diyakini dapat mempengaruhi keputusan banyak negara ikut
membuat keputusan serupa.
Salah satu hak yang mendasar
yang harus dimiliki oeleh setiap manusia adalah kebebasan untuk mencintai individu
lain dan melakukan legalitas hubungan percintaan mereka dalam lembaga social
berupa pernikahan tanpa melihat jenis kelamin, suku, ras, agama atau kelompok
social yang melatarbelakangi keduanya (tahmindjis 2014, 121).
Genetis
Atau Lingkungan
Salah satu perdebatan isu
LGBT soal “genetis atau lingkungan”, berbagai pihak yang pro-kontra memberikan
argumentasinya. Kelompok yang menolak meyakini LGBT bukan genetis tapi karena
lingkungan/ pergaulan, menganggap homoseksual merupakan penyakit dan harus
ditolak/ diubah. Sedangkan sebagian kelompok pendukung LGBT menyakini bahwa
LGBT itu genetis, tak mungkin orientasi seksual bisa berubah-ubah, maka harus
dihormati dan dihargai karena mereka lahir dengan kondisi demikian.
Namun demikian, kalau LGBT itu genetis, apakah kemudian tak
boleh ‘memilih’ sebagai heteroseksual atau sebaliknya? Apakah penentuan
seksualitas manusia harus berbasis genetis? Kemudian kalau LGBT bukan genetis,
apakah kemudian tidak berhak menentukan mau jadi LGBT atau tidak?
Banyak penelitian menemukan
bukti perbedaan baik anatomis atau fungsional antara otak gay dan otak pria
non-gay. Banyak juga riset yang menemukan bahwa gen ikut berperan dalam
menentukan orientasi gender, secara tidak langsung menghasilkan perbedaan otak
gay.
Salah satu riset awal, oleh Dick Swaab menemukan bahwa
bagian dari hipotalamus, yaitu suprachiasmatic nuclei (SCN) gay dua kali lebih
besar dari laki-laki hetero. Belakangan, perbedaan SCN pada otak gay ini
terbukti disebabkan oleh perbedaan dalam reaksi testosteron terhadap otak yang
terus berkembang. Riset lain menunjukkan bahwa commisura anterior, kumpulan
‘kabel extra cepat’ yang menghubungkan 2 belah otak, pada gay didapatkan lebih
besar. Strukturcommisura anterior pada gay lebih mirip yang ada
perempuan heteroseksual, terlibat dalam membentuk orientasi gender, kognitif
dan bahasa. Tahun lalu, Ivana Savic dari Swedia melaporkan bahwa ukuran 2
belahan otak yang tidak sama, yang ada pada laki-laki heteroseksual, tidak
tampak pada otak gay. Ini juga sesuai dengan temuan bahwa gay, seperti
perempuan heteroseksual (lesbian), mempunyai kemampuan lisan lebih baik
ketimbang laki-laki heteroseksual. Bahkan dengan pemindaian MRI fungsional,
Savic menunjukkan bahwa otak gay secara fungsional lebih menyerupai otak
perempuan heteroseksual. Riset lain dengan PET-scan menemukan
konektivitas amigdala otak gay yang juga lebih menyerupai otak perempuan
heteroseksual ketimbang laki-laki heteroseksual. Savic juga melaporkan pola
aktivasi yang berbeda pada otak gay dalam merespons pheromon yang dihasilkan di dalam keringat
pria.
Savic menemukan bahwa hipotalamus dalam otak gay
dirangsang oleh aroma keringat laki-laki lain. Ini tidak terjadi pada
hipotalamus laki-laki heteroseksual. Hal ini menyatakan bahwa perbedaan pada
sirkuit hipotalamus otak bisa membuat gay terpikat dengan aroma yang dihasilkan
kelenjar keringat laki-laki. Respons hipotalamus dalam menanggapi pheromone laki-laki ini memainkan peranan
penting dalam orientasi seksual gay. Reaksi yang kuat dalam talamus dan medial
prefrontal cortex laki-laki heteroseksual pada saat melihat wajah perempuan,
tidak terjadi pada gay. Sebaliknya, medial prefronal cortex gay justru bereaksi
dengan kuat terhadap wajah seorang laki-laki. Penelitian genetika juga
menghasilkan sejumlah bukti tentang perbedaan alamiah antara gay dan laki-laki
heteroseksual.
Niklas Langstrom via studi laki-laki kembar, menemukan
petunjuk bagian-bagian dalam genome yang berperan membentuk perilaku seksual.
Riset Langstrom: sekitar 35% dari faktor-faktor orientasi seksual disebabkan
oleh pengaruh genetis, sebelum faktor-faktor lain mulai berpengaruh. Berbagai
riset genetis, sirkuit otak dan dampak hormon pada orientasi seksual, masih
akan terus berlanjut. Bukti yang ada menunjukkan bahwa beberapa otak manusia
berbeda tidak hanya terkait dengan perilaku gender, tapi juga orientasi
seksual. Lingkungan hormonal pra-kelahiran inilah yang menimbulkan dampak
permanen pada ciri-ciri perilaku, salah satunya adalah ketertarikan seksual.
Secara biologis, variasi genetis dan paparan hormonal pada otak laki-laki dan
perempuanlah yang menyebabkan ketertarikan sesama jenis. Jadi, seorang
laki-laki menjadi gay atau non-gay lebih dikarenakan oleh perbedaan struktur di
otak dan genetis. Bukan karena pola pengasuhan.
Dalam hal orientasi seksual, sebagian orang adalah
heteroseksual, sebagian lagi homoseksual, sebagian lainnya biseksual. Semuanya
normal. Ilmuwan lain berpendapat bahwa homoseksualitas disebabkan karena baik genetis maupun lingkungan saling berperan satu sama lain, dan hal itu membutuhkan penelitian lebih lanjut.
Apakah Homoseksualitas Ancaman bagi Reproduksi Manusia?
Hal lain yang kerap dituduhkan kepada LGBT adalah jika
semua orang di dunia berperilaku homoseksulitas maka reproduksi berhenti dan
manusia nantinya bisa punah. Pertanyaan yang sama bisa kita ajukan sebaliknya;
“Jika homoseksualitas dapat menyebabkan punahnya umat manusia, maka mengapa
sampai sekarang, gen yang membawa homoseksualitas tidak kunjung punah?”
Pertanyaan besarnya adalah, apakah homoseksual
bertentangan dengan nature?
Dalam jurnal Human Genetics, dikatakan bahwa ‘gay genes’ terbukti eksis.
Sven Bocklandt dari University of California, Los Angeles, menjelaskan
tentang kromosom.
Kromosom adalah molekul seperti benang besar yang
mengandung instruksi genetik organisme. Manusia sendiri memiliki 46 kromosom
atau 23 pasang kromosom di dalam setiap sel yang berfungsi untuk menahan
sekitar 25.000 gen. Dari 23 pasang kromosom tersebut maka tiap satu setnya
berasal dari sel ibu (dari sel telur) sedangkan sisa set yang lain berasal sang
ayah (dari sperma).
Dari total 46 kromosom tersebut maka 22 pasangannya (44
kromosom) merupakan kromosom yang sama baik pada pria atau wanita, disebut juga
denganautosom. Sedangkan pasangan yang ke 23 merupakan
kromosom kelamin yang berbeda jenisnya untuk pria ataupun wanita. Wanita akan
mempunyai 2 kromosom X (XX) sedangkan pria akan mempunyai 1 kromosom X dan 1
kromosom Y (XY).
Meskipun wanita memiliki dua kromosom X, hanya satu yang
fungsional karena yang lain tidak aktif melalui proses yang disebut ‘metilasi’
(methylation).
Jika kedua kromosom X pada perempuan tetap aktif, maka
akan ada kelebihan materi genetik, yang dapat menimbulkan efek dari protein
berlebih. Down syndrome, misalnya, adalah hasil dari kehadiran
tambahan salinan kromosom 21.
Sel 42 dari ibu yang memiliki setidaknya dua anak gay,
mereka menemukan bahwa sekitar seperempat dari perempuan dalam kelompok ini
menunjukkan sesuatu yang berbeda.
“Setiap sel dalam tubuh para ibu itu menyebabkan
ketidak-aktifan pada kromosom X yang sama,” Bocklandt. Sebaliknya, pada ibu
yang tidak memiliki anak gay dan yang hanya mempunyai satu anak gay, tidak
memilki sifat tersebut.
“Kami berpikir bahwa ada satu atau lebih gen pada
kromosom X yang memiliki efek pada orientasi seksual,” kata Bocklandt.
Bocklandt juga terlibat dalam studi sebelumnya pada genom
manusia laki-laki yang memiliki dua atau lebih saudara gay. Para peneliti
menemukan bentangan identik DNA pada tiga kromosom—7, 8 dan 10—yang dimiliki
oleh sekitar 60 persen dari saudara gay.
Hasil dari dua studi ini menunjukkan bahwa ada beberapa
faktor genetik yang terlibat dalam menentukan orientasi seksual seseorang dan
mungkin hal tersebut berbeda tergantung pada masing-masing individu.
Kebanyakan peneliti sekarang berpikir bahwa tidak ada gen
gay tunggal yang mengendalikan apakah seseorang adalah homoseksual atau tidak.
Sebaliknya, itu adalah pengaruh beberapa gen, dikombinasikan dengan pengaruh
lingkungan, yang pada akhirnya menentukan apakah seseorang adalah gay.
Adapun soal punah atau tidaknya manusia gara-gara
homoseksual, itu sama sekali omong kosong. Bahkan ilmuwan lain berpendapat
bahwa, perempuan heteroseksual yang bersaudara dengan lelaki homoseksual justru lebih subur dalam reproduksi ketimbang yang memiliki saudara laki-laki heteroseksual.
Artinya, dalam skenario reproduksi, potensi mereka untuk melahirkan banyak anak
justru lebih unggul.
Homoseksualitas dan Kejahatan Seksual
Berita mengejutkan datang dari Brunei Darussalaam, yaitu
hukum rajam bagi pelaku homoseksual. Adapun di negara Eropa sendiri, seperti
Rusia, atau di negara-negara seperti Uganda dan Suriah yang masih belum
menerima keberadaan LGBT. Sedangkan beberapa waktu lalu kongres Amerika Serikat
telah menyetujui legalitas pernikahan sesama jenis. Bahkan di Prancis lebih
progressif dengan adanya masjid yang dikhususkan bagi kaum gay.
Kita perlu memperjelas definisi kita. Ketika membicarakan
pelecehan seksual dan penganiayaan anak-anak, sering ada konflik terminologi.
Salah satu peneliti yang sering dikutip pada topik homoseksualitas dan
penganiayaan anak, Gregory Herek, seorang
psikolog di University of California, mendefinisikan pedofilia sebagai
‘gangguan psikoseksual ditandai dengan preferensi untuk anak-anak praremaja
sebagai mitra seksual, yang mungkin atau tidak mungkin bertindak atas itu.’ Dia
mendefinisikan pelecehan seksual anak sebagai ‘kontak seksual yang sebenarnya
terjadi antara orang dewasa terhadap seseorang yang belum mencapai usia di atas
umur secara legal’. Tidak semua pedofil benar-benar menganiaya anak-anak.
Seorang pedofil dapat tertarik ke anak-anak, tapi tidak pernah benar-benar
terlibat dalam kontak seksual dengan mereka. Yang cukup sering adalah pedofil
tidak mengembangkan orientasi seksual terhadap orang dewasa lainnya.
Herek menunjukkan bahwa penganiayaan anak dan pelecehan
seksual anak mengacu pada ‘tindakan’, tanpa menyiratkan ‘psikologis tertentu
atau motif apa pun dari pelaku’. Dengan kata lain, tidak semua insiden
pelecehan seksual anak dilakukan oleh pedofil. Mereka biasanya tidak
mengidentifikasi sebagai homoseksual; mayoritas diidentifikasi sebagai
heteroseksual, bahkan mereka yang menyalahgunakan anak-anak dari jenis kelamin
yang sama. Mereka terangsang secara seksual oleh anak-anak, bukan berdasarkan
gender.
Sebaliknya, penganiaya anak sering mengerahkan kekuasaan
dan kontrol atas anak-anak dalam upaya untuk mendominasi mereka. Mereka ingin
menikmati pengalaman hasrat seksual untuk orang dewasa, tapi melakukannya pada
anak-anak secara episodik untuk alasan selain hasrat seksual, sebagaimana
pemerkosa menikmati saat mengendalikan korban mereka yang tengah dipermalukan.
Sedangkan beberapa penelitian menunjukkan bahwa untuk pedofilia, jenis kelamin
anak tidaklah penting. Faktor penting terjadinya pedofilia lebih banyak
disebabkan aksesibilitas. Dalam situasi ini, dalam kehidupan keseharian,
seorang pria dewasa dipercaya oleh orang-orang di sekelilingnya, termasuk
keluarga mereka, untuk mendapatkan akses; baik sebagai pengajar, pelatih,
mentor dan sebagainya. Oleh karena itu, pedofil laki-laki mungkin memiliki
akses lebih mudah. Untuk memahami pelecehan seksual terhadap seorang anak
laki-laki, banyak dari kita melabeli itu sebagai tindakan homoseksualitas,
sebenarnya tidak demikian.
Kaum feminis berpendapat selama bertahun-tahun bahwa
perkosaan bukanlah tindakan seks, tapi tindakan kekerasan menggunakan seks
sebagai senjata. Dengan cara yang sama, seorang pedofil menyalahgunakan anak
dari jenis kelamin yang sama, bukan untuk melakukan tindakan homoseksual, tapi
tindakan kekerasan dan eksploitasi yang menggunakan seksualitas. Ada perbedaan
besar antara dua hal itu, tapi diperlukan lebih jauh pemahaman terhadap motivasi
pelaku.
Untuk menyebut penganiayaan anak laki-laki oleh seorang
pria homoseksual, atau seorang gadis dengan seorang pria heteroseksual, adalah
kesalahpahaman atas pedofilia. Tidak ada pedofil yang benar tertarik pada orang
dewasa, demikian juga berlakunya homoseksualitas maupun heteroseksualitas.
Adapun Anna C. Salter yang menulis buku Predators, Pedophiles, Rapists and other Sex Offendersmengatakan
bahwa, ketika seorang pria ‘menggauli’ gadis kecil, kami menyebutnya
‘pedofilia’ dan bukan ‘heteroseksual’. Demikian pula ketika pria ‘menggauli’
anak laki-laki, itu merupakan ‘pedofilia’ dan bukan ‘homoseksual’.
Namun demikian, banyak masyarakat kita yang antipati
terhadap homoseksualitas, dan menyangka bahwa orientasi sesama jenis itu
membahayakan ‘nilai-nilai keluarga’. Banyak orang di masyarakat kita langsung
berpikir bahwa pelecehan terhadap anak laki-laki adalah perilaku
homoseksualitas.
Kejahatan seksual bisa dilakukan oleh siapa pun, mau dia
hetero ataupun homoseksual. Dan segala profesi apa pun, mau dia polisi, tokoh
agama, artis maupun budayawan. Bahkan aktivis. Dan tindakan pelecehan seksual
atas alasan apa pun tak bisa dibenarkan.
Bio-Politik terhadap LGBT
Dalam konteks kelompok homoseksual, banyak yang hidup
dalam keterkekangan, kemunafikan, ketidakjujuran sebagai homoseksual. Makanya
banyak yang menikah secara heteroseksual karena tak sanggup dengan tekanan
untuk ikut maunya masyarakat dan negara.
Jika demikian, lantas apa yang disebut normal? Normal
merupakan produk dari normalisasi, dan normalisasi dilakukan oleh faktor
ekstrinsik di luar individu. Bisa tatanan sosial, sistem hukum, dan lain hal.
Mirip seperti apa yang dikatakan Michel Foucault tentang bio-politik, yaitu
teknologi kuasa baru yang muncul dalam pelbagai level dan skala, serta
situs-lokus tertentu, dengan memakai tubuh sebagai instrumen kekuasaan. Tubuh
dilihat, secara lebih parah, sebagai tak hanya instrumen kekuasaan, tapi bahkan
mekanisme disiplin sebuah negara. Misalnya; rasio kelahiran-kematian, rasio
kesuburan, reproduksi dan populasi, dan lain-lain—yang kemudian dikembangkan
lebih jauh oleh para feminis kontemporer bahwa bio-politik juga mencakup
politisasi kesehatan reproduksi perempuan untuk tujuan-tujuan demografis
tertentu sebuah negara. Contoh paling mutakhir adalah bagaimana Putin merayu
perempuan Rusia untuk memiliki lebih banyak anak, dengan pembiayaan dari
pengeboran sumur-sumur minyak di kutub utara. Contoh lain adalah bagaimana
China memberlakukan kebijakan satu anak sejak 1979 dan sampai dengan sekarang
mengalami gender-gap, kekurangan anak-anak perempuan karena
tingginya fentisida (pengguguran janin perempuan).
Konsep bio-politik jika dirunut ke belakang, pernah
dilontarkan secara lebih klinis oleh Jean-François Bayart dengan konsep politik
perut (la politique du ventre) bahwa, pertama, politik
diukur dari apa yang masyarakat makan. Politik mengukur derajad kerakusan
manusia dalam konsumsi. Dalam perihal ini politisi dimata-matai dari hasratnya
untuk berkuasa via menguasai sumber-sumber pangan primer sebuah negara.
Konsepsi kekuasaan adalah apa-apa yang dimakan dan dikonsumsi warga-negaranya.
Hierarki dan sejarah kekuasaan dapat dilacak bagaimana penguasaan atas
bahan-bahan pokok dimainkan oleh politisi dan penguasa. Hierarki politik yang
menghasilkan kelas ini kemudian juga melahirkan solidaritas aksi-aksi empatik
jika sumber-sumber pangan kelas tertentu terancam langka atau punah.
Kedua, rahim sebagai
metafora dari perut, yang menguasai pangkal dari segala hajat reproduksi sebuah
bangsa. Penguasaan politis atas rahim merupakan kunci kepada kekuasaan.
Kapasitas kekuasaan dilekatkan pada tubuh perempuan dan lanskap penguasaannya
adalah kontrol negara atas organ-organ reproduktif dan seksual perempuan.
Ambisi-ambisi politik ini mengambil topeng dalam aturan-aturan moral yang
dilayangkan hanya kepada perempuan, saja. Bagaimana kontrol atas alat
kontrasepsi, kontrol atas perilaku seksual, kontrol atas status tubuh (perawan,
janda, dll), kontrol atas pakaian, dan lain-lain—yang kesemuanya tak ada atas
tubuh laki-laki. Politik benar-benar tak berdaya di hadapan rahim. Duspemiliknya,
hanya perempuan saja, harus dikontrol, dimanajemen, diatur, dan ditundukkan via
kebijakan, hukum, undang-undang, perda, perbub, dan lain-lain agar patuh.
Separuh warga-negara ini merupakan kapital paling vital yang harus dapat
ditundukkan oleh sebuah negara—atau dia akan menjadi negara gagal.
Bagaimana dengan politik tubuh terhadap LGBT? Praktik
seksualitas sehari-hari dari tiap individu tidak dapat dilepaskan dari politik
atau kekuasaan (negara dan kelompok dominan), baik organisasi masyarakat, kelas
sosial tertentu, organisasi kesukuan maupun agama.
Michel Foucault dalam bukunya A History of Sexuality (Seks Dan Kekuasaan: Sejarah
Seksualitas) menganggap bahwa dalam sejarah manusia banyak label yang kadung
menyesatkan; definisi normal dan abnormal, seperti homoseksual, banci, dan lain
sebagainya yang semuanya merupakan kontrol. Pendefinisian ini senada dengan
mekanisme kontrol terhadap orang-orang yang dicap berdosa, pezinah, gila,
sakit, dan patologis, yang semuanya diatur dan dihukum menurut norma sosial
yang berlaku, dan menurut siapa yang berkuasa pada suatu kurun waktu tertentu.
Kerangka ini berawal dari keyakinannya bahwa hubungan
kita dengan realitas sosial diatur melalui berbagai discourse,
kesatuan-kesatuan kepercayaan, konsep-konsep dan ide-ide yang kita anut. Selain
itu,dia menegaskan bahwa maskulinitas, feminitas, dan seksualitas adalah akibat
praktik disiplin dan diskursif, efek wacana atau buah relasi pengetahuan-kuasa
(power-knowledge). Bahkan sains pun, menurut Foucault,
juga berperan dalam konstruksi tersebut.
Foucault menyayangkan heteroseksualitas dianggap sebagai
satu-satunya bentuk seksualitas yang berorientasi prokreasi, diinternalisasi,
dinaturalisasi, sedangkan bentuk seksualitas lainnya dipatologikan dan
diabnormalkan. Seolah-olah heteronormatifitas adalah satu-satunya orientasi
seksualitas yang mengatur kehidupan manusia, kapan pun, dan di mana pun. Hal
ini tentu saja menyembunyikan realitas dan relativitas yang sangat kompleks
dalam seksualitas.
Masyarakat Indonesia masih berpikir bahwa perempuan dan
laki-laki memiliki kodratnya masing-masing berkait dengan seks biologisnya.
Pembagian peran berdasarkan yang feminin-maskulin masih terjadi dan menjadi
ukuran bagi norma yang ada. Terlebih norma agama, relasi perempuan dan
laki-laki menjadi sesuatu yang menjadi sakral pada akhirnya dalam pernikahan
yang berarti meneruskan keturunan (prokreasi). Inilah kenapa konstruk budaya di
Indonesia selalu diarahkan pada prokreasi, di mana perempuan dan laki-laki
secara biologis telah memiliki karakteristiknya masing-masing yang tidak dapat
dipertukarkan. Dan hal ini menjadi sesuatu yang dilegitimasi oleh berbagai
institusi, terlebih institusi agama.
Meskipun pada 17 mei 1990 organisasi kesehatan dunia
(WHO) telah memutuskan bahwa homoseksualitas tidak tergolong suatu penyakit
atau gangguan jiwa, fatwa WHO tersebut sudah tercantum pula dalam kitab PPDGJ
milik Depkes RI (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis dan Gangguan Jiwa) edisi
III tahun 1993, namun diskriminasi terhadap kelompok minoritas ini masih kerap
terjadi di negeri ini.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil diskusi kami dapat disimpulan bahwa
Forum diskusi nigrum kontra terhadap keberadaan kaum LGBT karena
1.
Keberlangsungan umat
Manusia terancam apabila perilaku menyimpang ini menyebar luas ke berbagai
masyarakat. Karena perilaku ini tidak menghasilkan keturunan.
2.
Dari sisi agama,
perilaku ini jelas bertentangan dengan berbagai ajaran agama yang ada dan di
anut masyarakat.
3.
Mengenai perilaku kaum
LGBT disebabkan karena factor lingkungan bukan karena genetis Karena belum ada
penelitian yang secara gambling dapat membuktikan bahwa kebiasaan ini dibawa
sejak lahir.
4.
Mengenai kemungkinan
bahwa gerakan LGBT disahkan diberbagai negara karena keinginan untuk mengurangi
jumlah penduduk. Bisa jadi iya, hal ini bisa dilihat dari negara-negara seperti
Amerika yang memiliki masalah pertumbuhan penduduk mendukung gerakan ini bisa
jadi alasannya adalah dapat menekan pertambahan penduduk mereka karena kita
ketahui bersama perilaku ini tidak mungkin menghasilkan keturunan.
5.
LGBT melanggar norma
agama adat dan social, perilaku ini dimasyarakat dianggap tidak pantas,
memalukan, dan menyimpang. Berdasarkan sila pertama Pancasila yakni ketuhanan
yang maha Esa sedangkan agama tidak membenarkan perilaku LGBT sehingga untuk
sekarang LGBT belum dapat diterima secara legal di Indonesia.
6. untuk kaum Transgender perlu ada aturan khusus sehingga pada akhirnya tidak menimbulkan permasalahan di masyarakat berupa penipuan kenika berlangsung pernikahan.
6. untuk kaum Transgender perlu ada aturan khusus sehingga pada akhirnya tidak menimbulkan permasalahan di masyarakat berupa penipuan kenika berlangsung pernikahan.
Buat teman-teman yang ingin ikut diskusi dan menyampaikan pendapatnya dapat gabung bersama kami di forum Nigrum hari sabtu jam 14.00 wib di Kantin Rizky Awan Paggar Bessi depan Halte TM di dalam Universitas Sriwijaya kampus Indralaya (dekat perpustakaan pusat Unsri Indralaya)
Sip gan
BalasHapus